Ditulis oleh: Adisti Nurul
Sakit, mau di dalam maupun di
luar negeri, sudah pasti nggak enak. Mulai dari sakit kepala, sakit gigi, sakit
perut, sampai sakit hati. Ketika kita sedang berada di luar negeri, sakit pasti
menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Ketika kita sakit di luar negeri memang
punya sensasinya tersendiri.
Musim semi tahun 2013,
bunga-bunga bermekaran. Nuansa warna-warni bunga di sepanjang jalan kampus
terlihat cantik sekali. Itu adalah kali pertama saya melihat musim semi. Musim
yang penuh sama pot-kot, atau Cherry
Blossom, atau Sakuranya Korea. Musim semi yang cantik membuat saya ingin mereka
seluruh sudut kampus yang penuh bunga, saya kagum… kagum… sampai tak terasa air
mata saya mengalir.
Bukan, saya bukannya terlalu
melankolis sama pengalaman musim semi pertama saya. Di perjalanan menuju ruang
kelas, entah kenapa mata ini nggak berhenti mengucurkan air mata. Begitupun hidung
yang nggak bisa berhenti bersin. Awalnya, saya pikir saya mengucurkan air mata
karena mataharinya terlalu terik. Tapi suatu hari, matahari sinarnya tak begitu
terik, saya masih tetap nangis, saya masih tetap bersih. Ketika saya bertanya
sama roommate saya, dia bilang
“Ah, mungkin kamu alergi sama
serbuk bunga. Banyak orang seperti itu disini”
Oh My God. Alergi bunga? Cute ya, alergi bunga. Kayak di kartun deh. Apa di drama Korea?
Meskipun alerginya kayaknya lucu
dan kayak di kartun, tapi rasanya sama sekali nggak enak. Bayangin, setiap
keluar kamar, mata berair, hidung bersin-bersin nggak karuan. Padahal pengen
foto-foto sama padang bunga gitu kan, tapi ya… apa daya serbuknya bikin saya
alergi. Saya pun ketinggalan momen foto-foto bersama bunga-bunga cantik khas
musim semi. Hiks.
Kenapa nggak boleh sakit ketika
diluar negeri?
Karena kalau sakit, kita bisa
banyak ketinggalan momen berharga. Nggak bisa foto-foto di padang bunga,
misalnya. Misalnya, kalaupun mau foto, mukanya harus rela cuma tampak setengah karena ketutupan masker. Ketika kita sakit, jadi banyak momen yang terlewat bukan?
Ketika musim semi berlanjut ke
musim panas, lagi-lagi saya sakit. Kali ini saya kena flu. Ketularan roommate,
saya yakin banget. Saat itu, karena pergantian musim, banyak orang yang
terserang flu. Wabah flu ada dimana-mana, menyerang siapapun tak terkecuali
saya. Kepala pusing, hidung tersumbat, bersin tiada henti, demam… bercampur
jadi satu. Tapi ya kayaknya namanya influenza, di belahan dunia manapun sama
sih. Bedanya, kalau di Indonesia, saya cukup beli Fludane, atau obat warungan.
Banyak minum air putih, banyak istirahat, sembuh. Tapi meskipun saya minum
banyak air putih dan banyak istirahat, saya terserang flu selama kurang lebih
seminggu. Itu lama lho, itungannya. Kebetulan (dan bodohnya), obat yang saya
bawa ke Korea saat itu hanyalah obat maag. Obaat maag warungan, pula. Nggak
kepikiran bawa obat-obatan flu, atau penahan rasa sakit dan sebagainya. Nggak
mungkin dong saya flu tapi saya minumin obat maag? Akhirnya saya pun pasrah,
menunggu sampai si flu itu pergi dengan sendirinya. Sungguh, bukan pengalaman yang menyenangkan. Di Korea, kalau kita srat-srot ingus gitu dianggap sesuatu yang nggak sopan. Tersiksa banget harus bolak balik ke kamar mandi buat buang ingus... hiks.
Kenapa saya nggak ke dokter? Iya
ya, kenapa ya? Waktu itu, saya takut banget kalau sampai harus ke dokter.
Pertama, saya bingung jelasinnya gimana. Bahasa Korea saya masih jelek, dan si
roommate pun sibuk sampai nggak ada waktu buat nganterin ke rumah sakit. Terus,
saya juga takut sama obat-obatan di Korea. Yah, anggap aja ini suuzon, tapi
saya waktu itu takut kalau obatnya terlalu keras buat saya. Saya ada alergi
obat, sejenis zat dalam obat flu yang entah apa namanya. Makanya saya nggak
bisa sembarangan minum obat.
Ketika saya sembuh, si roommate
balik kena flu lagi. Untungnya kali ini saya nggak ketularan. Si roommate ini
menyerah, akhirnya dia ke dokter dan beli obat flu beserta obat batuk. Tahu berapa
biaya yang harus dia keluarkan? Sekitar 80 ribu won. Alias sekitar 800 ribu rupiah.
Cuma karena flu. Segitu udah dipotong sama asuransi. Dan dia ke rumah sakitnya
rumah sakit kampus.
Ada pun seorang teman yang
giginya sakit beberapa hari menjelang dia pulang ke Indonesia. Dia takut kalau
giginya bakalan makin nyut-nyutan ketika dia berada di pesawat terbang. Tapi kalau
dia ke dokter gigi, biaya yang harus dia keluarkan adalah….. jeng jeng…. 200
ribu won. Alias dua juta rupiah! Fantastis kan nilainya? Kalau dua kali sakit
gigi uangnya bisa dipakai buat balik ke Indonesia pake tiket promo itu sih.
Bukankah ada asuransi? Ya, ada. Teman saya itu juga sama-sama peraih beasiswa
GKS yang mana helath insurance nya ditanggung. Tapi, asuransi itu tidak
termasuk dokter gigi dan dokter mata. Jadi kalau ada masalah sama dokter gigi
dan dokter mata… siap-siap uang lebih saja.
Kenapa nggak boleh sakit waktu di luar
negeri?
Karena sakit di luar negeri itu
muahaaalllllll. Ini kayaknya poin paling penting dari semua poin deh. Ehehe.
Musim panas yang super panas di
Chuncheon saya lewatkan dengan aman, tanpa jatuh sakit. Masuk musim gugur,
entah kenapa ada yang salah sama saya, saya jadi sering jatuh. Sekitar empat
kali saya jatuh di musim gugur dengan penyebab yang beda-beda. Dua kali saya jatuh pada malam hari. Teman
Pakistan saya sempat bilang mungkin saya ada rabun senja, yang bikin
keseimbangan saya berkurang pada malam hari. Entah itu benar atau nggak, karena
belum saya periksa.
Jadi, terakhir kali saya jatuh
dari tangga. Sekitar dua anak tangga sebelum anak tangga yang paling bawah.
Kedua lutut saya yang jadi korbannya, karena saya menggunakan lutut saya secara
reflex untuk menopang tubuh saya ketika jatuh. Selama beberapa menit, lutut
saya nggak bisa digerakkan. Saya udah mikir macem-macem, jangan-jangan lumpuh,
karena baru seminggu yang lalu, saya juga jatuh di parkiran sepeda. Lagi lagi
lutut yang kena. Saya berkali kali ditanya mau ke rumah sakit atau enggak sama
teman-teman disana. Oh ya, kebetulan saat itu baru ada pertemuan keluarga
Muslim di Chuncheon, yang bertepatan dengan hari ulangtahun saya. Jadi saya
jatuhnya pas lagi banyak orang gitu, jadi banyak yang bantu. Saya digendong
sampai mobil karena saya nggak bisa jalan.
Setelah ada di mobil pelan-pelan
kaki saya coba gerakkan kaki saya, ternyata bisa. Ternyata nggak perlu ke rumah
sakit. Saya bilang, kalau besok masih sakit, saya bakalan ke rumah sakit.
Setelah dikasih balsam Pakistan dan
perban, akhirnya kaki saya sembuh. Nggak sempurna sih, tapi masih mending lah.
Kenapa saya males ke rumah sakit?
Karena pelayanan rumah sakit
disini itu cenderung lebay. Nggak lebay sih, sebenernya itu pelayanan yang
bagus karena sekalian jaga-jaga. Banyak teman-teman Korea saya yang kaki atau
tangannya di gips ‘hanya’ karena kepelitek, atau nggak sengaja kena bola pas
lagi ada festival olah raga sekolah. Nggak parah banget, sebetulnya. Tapi di
gips. Pertama kali saya lihatnya, mereka kayak abis kecelakaan gitu. Pake gips,
jalannya pake tongkat. Ternyata kata temen saya, dia Cuma ‘terkilir’ waktu main
bola. Lebay kan? Tapi sebenernya, mereka di gips ini untuk berjaga-jaga kalau ada sesuatu yang ternyata nggak kelihatan sama hasil rontgen, kesannya memang lebay, tapi prosedur yang bener kan memang harusnya gini ya? Beda sama orang Indonesia yang kalau kepelitek alias terkilir ujung-ujungnya diurut, dipijet, atau dibawa ke Cimande...
Kenapa nggak boleh sakit waktu di
luar negeri?
Karena sakit itu bikin repot.
Coba bayangin, gimana cara menjelaskan apa yang dirasa sakit kepada dokter yang
nggak bisa berbicara bahasa Indonesia (iyalah) apalagi bahasa Inggris? Bingung
kan?
Terus, terkadang ada perbedaan
kebudayaan gitu mengenai penyakit antara negara satu dengan yang lainnya.
Misalnya ketika kita sakit diare. Di Indonesia sih biasa kan, diare dong, minum
aja oralit. Beres. Tapi di luar negeri, diare adalah penyakit yang …. Dianggap sangat
mengkhawatirkan. Jadi orang luar negeri biasanya nggak selow sama
diare-diare-an.
Terakhir, satu hal yang kita
butuhkan ketika sakit adalah istirahat yang cukup. Di waktu-waktu istirahat
itu, tak jarang pikiran kita jadi melayang kemana-mana. Yang pasti, pikiran itu
entah bagaimana bisa melayang ke kampong halaman, wajah orangtua, wajah
saudara, keadaan rumah…. Bikin kangen! Dan ketika kita sakit, kita bakalan
pengen banget diperhatiin dan dirawat saya orang-orang terdekat. Sayangnya,
kita sedang berjauh-jauhan.
Kenapa nggak boleh sakit waktu di luar
negeri?
Karena nggak ada yang ngurus.
Harus bisa ngurus diri sendiri. Harus bisa tahan kalau kalau kangen Ibu, kangen
rumah.
Ada banyak alasan lainnya kenapa
kita nggak boleh sakit di luar negeri. Hal-hal tersebut hanya sebagian kecil
yang saya tulis berdasarkan pengalaman pribadi saya. Terus gimana dong biar
nggak sakit? Tentu kita harus bisa menjaga diri kita sebaik mungkin. Makan yang
bener, olahraga yang rutin, istirahat yang teratur (meskipun kecepatan internet
di negara ini seringkali bikin saya kalap begadang). Selain itu, mungkin ini
sedikit tips yang bisa saya berikan sebelum berangkat ke luar negeri, untuk
memastikan bahwa kita dalam keadaan sehat wal afiat.
- Lakukan cek
kesehatan secara menyeluruh sebelum berangkat. Lakukan di rumah sakit yang
terjamin. Jangan hanya ke klinik dan dapat surat keterangan sehat sebesar
setengah amplop yang jadi formalitas saja, tapi juga harus benar-benar di cek apakah secara
kesehatan, kita layak untuk bepergian jauh.
- Periksa gigi
ke dokter gigi. Periksa apakah ada gigi yang perlu ditambal, atau dicabut. Atau
gigi yang berpotensi merusak, tapi bukan merusak penampilan lho ya. Bilang sama
dokternya kalau kalian bakal keluar negeri, dokter giginya pasti ngerti apa
yang harus dilakukan dengan masalah-masalah gigi. Apakah harus dicabut, atau
ditambal saja cukup. Atau malah butuh operasi. Kalau memang butuh operasi,
jangan ragu untuk mengoperasinya sebelum berangkat. Kenapa? Karena operasi gigi
di Indonesia sudah pasti lebih murah daripada operasi gigi di luar negeri. Dulu
sebelum berangkat saya juga periksa gigi dulu, terus gigi saya banyak yang
bolongnya gitu. Tapi ada satu gigi yang mengganggu sekali, dan beberapa kali
terasa nyut-nyutan. Karena persiapan saya waktu mau ke Korea hanya dua minggu,
dokternya awalnya mencoba buat menambal gigi saya. Tapi nggak berhasil.
Akhirnya gigi saya dibunuh syarafnya. Alhasil, gigi itu nggak terasa
nyut-nyutan lagi.
- Periksa mata!
Periksa apakah kalian butuh kacamata, atau keperluan yang lainnya. Ingat, gigi
dan mata biasanya tidak dikaver oleh asuransi. Biasanya makan banyak biaya.
- Lakukan cek
apakah kalian punya alergi-alergi tertentu. Bawalah obat-obatan yang biasa di
minum. Kalau sakit maag, ya bawa obat maag. Bawa obat pereda rasa sakit.
Pokoknya obat-obatan rumahan untuk penyakitspenyakit ringan tapi mengesalkan
macam flu, sakit kepala, pusing.
- Berdoalah
dengan Yang Maha Kuasa agar selalu senantiasa diberikan kesehatan, kita baru
sadar betapa mahalnya sehat itu waktu kita sakit, bukan?
Sekian dari saya, kalau ada
tambahan, silahkan di comment ya! (Adisti)
七転び八起き/ nana korobi ya oki - fall seven times stand up eight - Japan Proverb