Minggu, 07 Desember 2014

Apa sih Model United Nations? Jadi Model?

Ditulis oleh: Temi Chintia Risva

Banyak cerita yang mewarnai perjalananku sampai bisa menginjakkan kaki di Inggris. Melalui LIMUN (London International Model United Nations),  aku dan Sembilan teman-teman dari Undip lainnya berangkat mewakili kampus Diponegoro dan Indonesia tentunya untuk berkompetisi dalam ajang MUN paling besar se-Eropa tersebut.

Mungkin banyak diantara kalian yang masih asing dengan istilah MUN. Simpelnya, MUN adalah sebuah ajang dimana tiap delegasi akan berperan sebagai ambassador dari suatu negara dalam sidang PBB. Kami bersidang, berdebat, dan bernegosiasi untuk mencapai sebuah resolusi. Ya begitulah, terdengar membosankan dan membingungkan. Tapi ya memang begitu. Aku bingung harus menjelaskan dengan cara apa hehe

MUN dan bidang keilmuan yang aku tekuni di kampus adalah dua hal yang jauh berbeda. Sebagai mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat, aku berjibaku degan hal-hal yang cenderung bersifat ilmiah. Aku belajar soal penyakit dan faktor penyebabnya, serta bagaimana cara mencegah penularannya. Aku tidak pernah diajarkan bagaimana cara melakukan lobbying, bagaimana teknik bernegosiasi. Aku tidak dituntut untuk tau cara berdiplomasi. Tapi melalui MUN, aku belajar. Sangat banyak belajar. Disinilah aku ditempa, dipaksa untuk mengasah hard skill dan soft skill secara bersamaan, dituntut untuk berpiikir kritis, banyak membaca, mengasah public speaking, dan memperkuat team work. Disinilah tempat dimana aku sadar bahwa banyak hal baru yang bisa aku temui diluar kehidupan kampusku.

Oke, kembali ke cerita perjalanan LIMUNku.  Tahun 2012 adalah kali pertama aku mengenal LIMUN. Entah dari siapa tepatnya aku lupa, tapi saat itu aku mendapat informasi tentang pendaftaran LIMUN batch 3. Ya, saat itu tim Undip for LIMUN sedang mencari generasi cemerlang ketiga yang akan mewakili Undip dalam ajang prestis tersebut.

Sejak SMP aku memang sangat tertarik dengan dunia internasional. Sebagai orang yang sangat berambisi untuk bisa studi ke luar negeri, tentunya kesempatan yang ditawarkan oleh Undip for LIMUN menjadi angin segar ditengah penatnya  kehidupan kampus. Saat itu aku berpikir bahwa LIMUN dapat menjadi batu loncatanku untuk bisa mewujudkan mimpiku melanjutkan studi di luar negeri.

Singkat cerita, sambil terus membayangkan indahnya kota London, aku memutuskan untuk mendaftarkan diri. Saat itu aku tidak mendaftar sendiri. Aku mengajak tiga orang teman yang kebetulan sedang melakukan sebuah prject sosial bersamaku. Kami mendaftarkan diri bersama.

Persiapan sangat singkatpun aku lakukan. Test TOEFL dalam waktu 1 hari, mengerjakan essay dalam waktu satu malam, dan mengisi formulir aplikasi dalam waktu satu jam. Essay yang aku tulis saat itu pun merupakan hasil copy-paste dari internet. Google memang selalu jadi teman terbaikku.

Setelah mengumpulkan essay dimenit-menit terakhir deadline, aku menunggu sambil harap-harap cemas. Beberapa hari kemudian, aku mendapatkan panggilan untuk melakukan interview. Masih dengan persiapan minim, aku pun mengikuti interview. Berbekal beberapa sertifikat prestasi dibidang public speaking yang aku miliki, dan pengalaman sukses dalam beberapa interview, saat itu aku cukup percaya diri, bahkan bisa dibilang over confidence.

Saat memasuki ruang interview, aku dihadapkan pada kenyataan bahwa persiapan menentukan keberhasilan. Saat itu, didepan dua interviewer, aku seperti orang bodoh. Essay hasil copy-paste-ku dicecar habis-habisan. Banyak pertanyaan yang terkait essayku yang aku tidak bisa jawab. Aku bingung ketika ditanya mengenai isu-isu global yang sedang hangat saat itu. Aku bungkam ketika mereka bertanya padaku apa itu MUN dan LIMUN. Aku pasrah ketika diminta menjelaskan begaimana sidang MUN berlangsung. Aku benar-benar tidak berdaya. Bingung, gugup, susah berkata-kata. Semua jawaban yang aku keluarkan hanyalah ungkapan-ungkapan kosong tidak berisi. Ya bagaimana mau ada isinya kalau membaca saja tidak pernah. Tapi aku tidak putus asa, aku masih berusaha optimis. “ah, peserta yang lain juga belum tentu bisa. Setidaknya, dari segi pengalaman aku masih lebih unggul”, begitu pikirku saat itu.

Saat pengumuman tiba, aku merasa duniaku runtuh. Namaku tidak ada diantara deretan nama peserta yang lolos seleksi. Aku gagal. Untuk pertama kalinya, aku gagal dalam interview. Sementara itu, aku melihat dua nama teman yang aku ajak mendaftar bersama, terpampang disana. Mereka diterima. AKu senang tapi juga sedih. Kenapa bukan aku? Banyak pertanyaan berkecamuk dipikiranku. Tapi kemudian aku sadar bahwa persiapan yang dilakukan teman-temanku jauh lebih baik dari aku. Saat itu aku tau bahwa apa yang aku miliki saat itu belum cukup, jauh dari cukup. Saat itu juga, aku berjanji bahwa aku akan mengikuti seleksi di tahun berikutnya, dan aku berjanji aku akan melakukan apapun agar aku bisa diterima.

Aku tahu, banyak yang harus aku persiapkan agar aku bisa lolos pada seleksi tahun berikutnya. Aku memutuskan memulai langkahku dengan bergabung dalam klub debat bahasa inggris untuk melatih kemampuan speakingku. Tidak hanya itu, klub ini juga memaksa aku untuk terus update dengan banyak membaca berita. Banyak ilmu dan informasi yang aku pelajari, mulai dari prinsip ekonomi, isu internasional, sejarah, kesehatan, lingkungan, berita dunia hiburan, olah raga, social, masalah gender, dan masih banyak lagi. Aku juga bertemu banyak teman baru dengan kecerdasan luar biasa yang kadang membuatku berpikir bahwa aku hanyalah butiran debu di hamparan bebatuan hahaha

Selama setahun aku mempersiapkan diriku. Mengikuti banyak perlombaan debat, mendapat banyak ilmu baru, sharing dengan para debaters yang sudah memiliki banyak pengalaman dalam MUN (disini aku mendapati bahwa sebagian besar MUNers ternyata adalah debater), mencari informasi mengenai MUN dan LIMUN, dan masih banyak lagi. Aku benar-benar serius kali ini. Aku tidak ingin mengulangi kegagalanku lagi.


Pada pertengahan tahun 2013, pendaftaran dan seleksi Undip for LIMUN pun akhirnya dibuka. Aku langsung mendownload formulir aplikasi dan mempersiapkan essayku. Kali ini aku sudah jauh lebih siap. AKu membaca beberapa referensi sebagai modal dasar essayku, tidak lagi asal dan copy-paste dari mbah google. Aku sangat serius mengisi formulir registrasi dan menulis motivation letterku. Aplikasi juga aku kumpulkanbeberapa hari sebelum deadline.

Seleksi tahun ini agak berbeda, atau bisa dibilang lebih sulit dari tahun sebelumnya. Jika sebelumnya aku hanya harus melewati proses seleksi administrasi dan interview, kali ini aku ada proses FGD yang harus aku taklukkan. Waktu itu, dari semua tahapan seleksi, FGD menjadi pertarungan paling sengit. Bagaimana tidak, aku dihadapkan dengan puluhan orang hebat, dikumpulkan dalam satu kelompok, dan diminta untuk membahas beberapa isu. Aku ingat, ada tiga isu yang dibahas, tentang Right of self determination for country, Nuclear power, dan isu mengenai LGBT (lesbian, gay, bisexual, dan transgender). Semua kandidat berusaha untuk menunjukkan kemampuan terbaiknya. Semua aktif, semua memiliki kemampuan speaking diatas rata-rata, semua tau isu yang didiskusikan. Bah, kala itu persaingan terasa begitu ketat.

Setelah melewati tahap FGD, tahap interview sudah menungguku. Aku datang dengan membawa setumpuk kertas berisi berita dan segala informasi tentang UN, MUN, dan LIMUN. Saat namaku dipangil, aku langsung berdiri dan mengikuti instruksi salah seorang panitia untuk memasuki sebuah ruangan. Saat membuka pintu ruangan, jeng jeng, aku masuk dalam ruangan panas. Tiga orang interviewer sudah menantiku. Dan salah satu diantaranya adalah orang yang juga menginterview aku tahun lalu. Ya, orang yang tahun lalu menyaksikan kebungkamanku diruang interview dan orang yang tahun lalu tidak meloloskan aku (kebetulan memang dia terkenal sangat perfectionist). Oh tidak, aku ketakutan. Tapi persiapan yang aku lakukan ternyata sangat membantuku. Interview waktu itu aku lewati dengan cukup baik, setidaknya jauh lebih baik dari tahun sebelumnya.

Untuk kedua kalinya, aku harap-harap cemas menunggu pengumuman. Bayang-bayang kegagalan tahun lalu menghantuiku. Ingatan soal proses FGD membuatku berpikir bahwa ada begitu banyak kandidat yang sangat berpotensi, sementara hanya beberapa yang akan diterima. Belum lagi pengalaman diinterview oleh orang yang sama dua kali, dan ditambah cerita bahwa tahun lalu tidak ada seroangpun peserta yang lolos dariinterview yang dilakukan interviewerku. Aku semakin was-was. Waktu itu aku hanya bisa pasrah dan berdoa. Aku sudah melalukan porsiku, aku sudah berusaha semampuku.

Pagi itu aku ketika aku masih bersiap-bersiap berangkat kekampus, handphone ku berbunyi. Sebuah SMS dari teman yang juga mengikuti seleksi LIMUN. “We are going to London!” begitu bunyi pesannya. Aku masih tidak percaya. Kemudian aku langsung menyalakan kaptopku dan membuka web Undip for Limun. Ternyata benar, aku diterima! Tidak ada kata yang bisa menggambarkan perasaanku saat itu. Senang bercampur haru. Aku puas karena usaha selama satu tahun yang aku lakukan tidak sia-sia.

Hari itu adalah hari dimana sekali lagi Tuhan membuktikan bahwa kegagalan hanyalah keberhasilan yang tertunda. Hari itu aku kembali disadarkan bahwa ada harga yang harus dibayar untuk sebuah pencapaian. Hari itu pula aku benar-benar yakin bahwa “success is when preparation meets the opportunity”. Hari itu aku pun percaya bahwa Tuhan melihat perjuanganku dan Ia memiliki waktu yang tepat untu menjawab doaku.

Diterima menjadi delegasi Undip for LIMUN bukanlah akhir dari perjuanganku, melainkan awal dari sebuah kisah yang penuh dengan hambatan, tantangan, tapi juga menyenangkan. Setelah terpilih sebagai delegasi, ada banyak tugas yang menantiku didepan. Selama sekitar tujuh bulan aku dan timku bekerja bersama. Mempersiapkan segala kebutuhan kami untuk bisa sampai disana. Segala upaya kami lakukan untuk mencari dana, mulai dari mengurus proposal ke kampus, mencari dukungan sponsorship, hingga fundraising. Belum lagi kami juga harus mempersiapkan diri menghadapi LIMUN dengan terus berlatih, mengikuti acara MUN local, mengurus pendaftaran ke panitia LIMUN, mendaftarkan VISA, dan masih banyak lagi. Semuanya diurus dihari-hari aktif kuliah. Kami harus bisa membagi waktu dengan bijaksana.

Tujuh bulan penuh dengan kesibukan pun harus aku dan teman-temanku hadapi. Kuliah sambil mengurusi beberapa urusan birokras di pagi hari, rapat dimalam hari, kuliah lagi, begitu seterusnya. Perjalanan kami pun tudak bisa dibilang mulus. Kami pernah nyaris gagal mengadakan fundraising MUN training karena ada pembatalan tempat di H-1 acara. Dua orang anggota tim kami nyaris tidak bisa berangkat karena aplikasi VISA mereka ditolak satu bulan sebelum keberangkata. Kami juga terus-terusan dibuat panic dengan kondisi nilai tukar Rupiah yang terus memburuk. Tapi semua masalah itu berhasil kami lalui. Hari itu, 4 Februari 2014, kami, 10 orang mahasiswa Universitas Diponegoro berangkat mewakili almamater dan Indonesia dalam LIMUN 2014. Banyak cerita yang kami ukir dan pelajaran yang kami selama 21 hari disana. Tapi yang paling berharga adalah pengalaman yang kami dapatkan dengan menjadi delegasi LIMUN. Pengalaman yang sangat berharga tentang arti sebuah kerja keras dan team work. Pengalaman yang mungkin tidak akan kami dapatkan dibangku kuliah. Untuk semua pengalaman, pembejalaran, untuk semua suka, duka, tangis dan tawa yang sudah kami lewati, kami dan khususnya aku bersyukur karena aku adalah bagian dari Undip for Limun batch 4

2 komentar:

  1. i'm so happy to read your story. sekarang saya merasakan hal yang sama, saya bertanya kepada diri saya apkah saya mampu mengikuti LIMUN?. saya sudah membuka beberapa web yang menceritakan tentang LIMUN. saya kuliah di UII, nama saya egista. saya ,bertanya seberapa lancar peserta LIMUN yang notabennya bukan berbahasa inggris ? dan adakah pembekalan khusus selama proses menuju London? terimakasih :)

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus